Monday, February 20, 2012

Coto Nona-nona dari Mangkasara

Apa bedanya soto dengan coto? Pertanyaan ini memang sangat sering dikemukakan. Katanya, kalau soto pakai daging sapi, sedangkan coto pakai daging capi. He he he ... Sebenarnya, jawabnya sederhana: coto adalah soto-nya orang Makassar.

Secara umum, soto di Indonesia adalah kuah gurih segar dengan potongan daging – kadang-kadang ditambah dengan sayuran (kol, tauge) dan karbohidrat (kentang, singkong, soun). Kuahnya ada yang bening, ada juga yang kental bersantan.

Di Sulawesi Selatan, coto adalah ikon kuliner yang utama. Orang Makassar juga punya "juara coto" mereka masing-masing. Ada yang fanatik dengan Coto Nusantara (Jl. Nusantara, kawasan pelabuhan), ada pula yang keukeuh menjagoi Coto Gagak (di Jl. Gagak, pojokan Jl. Kakatua). Padahal, selain itu masih banyak sekali warung coto dengan kualitas yang beti (beda-beda tipis). Tergantung lokasinya dan tingkat popularitasnya, semangkuk coto rata-rata berkisar pada harga Rp 8-12 ribu. Semakin murah, semakin sedikit dan rendah kualitas daging yang dipergunakan.

Coto Mangkasara' tidak memakai santan. Kuahnya encer, tetapi berwarna keruh, dibuat dari kaldu sapi dan kacang tanah yang direbus sangat lama sampai hancur. Rempah-rempah yang jelas terjejaki adalah ketumbar, diperkuat dengan bumbu-bumbu: sereh, lengkuas, bawang putih, dan bawang merah. Rasa kacang tanah membuat coto sungguh-sungguh unik dan berbeda dibanding soto Nusantara lainnya.



Coto hanya berisi daging. Tidak ada sayur maupun karbohidrat di dalamnya. Umumnya, yang dipakai adalah daging dan jerohan sapi: babat, jantung, limpa, usus. Untuk versi istimewa, kadang-kadang otak, lidah, dan daging pipi pun diikutsertakan.

Para warga keturunan Tionghoa di Makassar juga punya dua warung coto yang mereka jagokan. Soalnya, kedua warung itu memang kepunyaan orang keturunan Tionghoa juga. Karena itulah, coto buatan mereka pun lazim disebut sebagai "Coto Nona-nona". Jangan harap akan ketemu nona muda yang cantik di belakang tungku coto, karena keduanya kebetulan sudah lama berubah status menjadi nyonya.

Dari keduanya, yang paling terkenal adalah Coto Ranggong. Rumah makannya pun cukup luas untuk dapat menampung sekitar 50 tamu. Coto Ranggong memakai flat price Rp 15 ribu per mangkuk – apapun isinya. Pakai otak maupun daging saja, harganya sama.

Coto Diponegoro lebih kecil warungnya, dan hanya buka sampai petang. Soalnya, sore harinya warung itu diisi oleh penjaja lain. Mungkin karena merasa lebih eksklusif keberadaannya di kawasan Chinatown Makassar, Coto Diponegoro mematok harga lebih mahal, Rp 17.500 per porsi – juga flat price, apapun isinya.

Coto Ranggong maupun Coto Diponegoro – keduanya lebih mahal dibanding coto umumnya – punya karakteristik yang hampir sama, yaitu: dagingnya lebih berkualitas, dan kuahnya lebih encer karena kandungan lemaknya lebih rendah. Ada kesan bersih pada kuahnya yang gurih segar itu. Keduanya juga memakai isian lengkap dengan otak, lidah, dan jeroan sapi lainnya.

Kuah coto biasanya masih harus ditambah sedikit garam, kucuran jeruk nipis, dan sedikit sambal. Masing-masing tamu menyesuaikan sendiri tingkat keasinan, keasaman, dan kepedasan coto mereka. Karbohidrat pengiring coto adalah ketupat atau buras. Buras adalah semacam lontong, dibuat dari beras dan santan, dibungkus daun pisang muda. Ketupat atau buras dipotong-potong dengan sendok dan dicemplungkan ke dalam mangkuk coto. Mak nyuss!
dikutip : detik.com

0 comments:

Post a Comment

 
Photography Templates | Slideshow Software